Mungkin kita sudah sangat mengetahui mengenai tragedi yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, di mana lubang buaya menjadi saksi bisu dari pembantaian yang dilakukan oleh para jenderal. Setidaknya di tragedi itu menelan 7 korban jiwa yang 6 di antaranya adalah jenderal dan satu merupakan ajudan dari Jenderal Besar AH Nasution.

Tragedi yang terjadi pada dini hari itu mengakhiri hidup Pierre Tandean dengan cara yang tragis, ini seakan menjadi catatan kelam untuk Indonesia.
Kali ini kami akan membahas mengenai Pierre Tandean, orang yang menjadi perisai dai Jenderal AH Nasution.
Biografi Pierre Tandean
Pierre Andries Tandean adalah seorang anak laki-laki dari pasangan A.L Tandean dan M.E Cornet. A.L Tandean merupakan seorang dokter yang berasal dari Minahasa, sedangkan istrinya merupakan seorang wanita Indo dengan darah Prancis.
Sejak kecil, Pierre memiliki keinginan untuk menjadi seorang tentara. Tetapi kedua orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti ayahnya, mereka tidak ingin Pierre mengalami hal-hal yang buruk ketika menjadi seorang tentara.

Pierre sebagai anak yang patuh pada kedua orang tuanya, ia tetap mencoba untuk mendaftar masuk ke sekolah dokter. Tetapi itu hanya agar kedua orang tuanya tidak kecewa padanya, padahal ketika ujian masuk ia pun tidak mengisi tes tersebut dan membuat dirinya tidak diterima di sana.
Akhirnya Pierre masuk ke Akademi Teknik Angkatan Darat atau ATEKAD di Bandung, tepatnya pada tahun 1961. Dari sana, ia pun lulus dengan pangkat letnan dua.
Setelah ia setahun bertugas di Meda, Pierre pun melanjutkan pendidikannya ke Intelijen Bogor dan setelah selesai menempuh pendidikannya ia menjadi mata-mata. Perawakannya yang seperti seorang Eropa membuatnya mudah untuk melakukan penyusupan. Salah satu penyusupan yang dilakukannya adalah ke konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Karena kemampuan juga kerja keras yang dilakukannya, banyak orang memandangnya menjadi TNI yang unggul dari berbagai aspek. Hal itu membuat Pierre menjadi rebutan para jenderal untuk menjadikan pria satu ini ajudan mereka.
Tapi akhirnya Pierre menjadi ajudan dari AH Nasution dan ia dipromosikan menjadi Lettu atau Letnan Satu. Di usia 26 tahun ia sudah menjadi ajudan jenderal ternama, tentunya ini menjadi kebanggaan tersendiri.
Bukan hanya bertanggung jawab untuk mengawal AH Nasutiuon, karena pasalnya karena ia adalah pribadi yang ramah ia juga akrab dengan anak dari AH Nasution, yaitu Ade Irma Suryani, sosok yang tewas tertembak pada malam berdarah itu.
Tetapi sayangnya, kecemerlangan Pierre di dunia militer harus berakhir tepat ketika ia merayakan ulang tahun sang ibu. Kala itu 30 September 1965, Lettu Pierre Tandean yang biasanya pulang ke Semarang untuk merayakan ulang tahun ibunya malah harus mengundur kepulangannya.

Itu karena ia masih memiliki tugas sebagai pengawal jenderal AH Nasution. Pierre tengah beristirahat ketika mendengar keributan yang terjadi di depan rumah AH Nasution. Ia pun menghampiri keributan itu dan ternyata mereka adalah pasukan Cakrabirawa yang tengah mencari Jenderal AH Nasution.
Demi menjaga sang atasan, Pierre mengatakan kepada mereka kalau ia merupakan jenderal AH Nasution. Pasukan yang kurang informasi itu mempercayainya dan membawa Pierre pergi.
Akhirnya, Lettu Pierre Tandean harus gugur dan dimasukkan ke sumur lubang buaya. Mayat Pierre Tandean ditemukan bersama dengan jenderal lainnya yang juga menjadi korban pada malam tragis tersebut.
Tentunya kematiannya ini memberikan luka mendalam bagi keluarga, juga bagi Indonesia. Kini Kapten Pierre Tandean ditetapkan menjadi pahlawan revolusi Indonesia. Tenang di sana Kapten, kami selalu mendoakanmu.